Sengketa Kampung Sidrap Memanas: Mediasi Gagal, Kutai Timur dan Bontang Bertemu di MK

Kutai Timur, Etensi.com – Mediasi yang dimediasi langsung oleh Gubernur Kalimantan Timur Rudi Mas’ud terkait persoalan status Kampung Sidrap kembali berujung pada kegagalan. Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Kutim) dan Pemerintah Kota Bontang secara tegas menyatakan tidak ada titik temu dan memilih melanjutkan sengketa ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Klaim sepihak dari Pemerintah Kota Bontang atas 163 hektar wilayah Kampung Sidrap yang berada di Desa Martadinata, Kecamatan Teluk Pandan, Kutim, kembali mendapat penolakan keras dari Bupati Kutai Timur, Ardiansyah Sulaiman.

“Kampung Sidrap adalah wilayah sah Kutai Timur. Tidak ada alasan hukum, administratif, apalagi moral bagi kami untuk menyerahkannya. Ini bukan soal siapa yang lebih dekat, tapi siapa yang bertanggung jawab,” tegas Bupati Ardiansyah, didampingi Wakil Bupati Mahyunadi, Ketua DPRD Kutim Jimi, serta unsur Forkopimda.

Lebih lanjut, Ardiansyah menyatakan bahwa Pemkab Kutim terus menjalankan kewajiban konstitusionalnya untuk melayani masyarakat di wilayah tersebut.

“Kami bangun sekolah, kami buka jalan, kami siapkan air bersih dan pelayanan kependudukan. Masyarakat adalah prioritas, bukan alat politik. Pemerintah hadir untuk melindungi, bukan memperdebatkan,” ujarnya.

Mediasi Mandek, Peran Gubernur Dipertanyakan

Kegagalan ini menambah daftar panjang mediasi yang tak produktif. Gubernur Kaltim Rudi Mas’ud yang kembali memimpin pertemuan di Kampung Sidrap tak mampu menjadi penengah. Fakta ini mempertegas bahwa fungsi mediasi Pemprov Kaltim tidak berjalan efektif.

Alih-alih menghasilkan solusi, forum mediasi berubah menjadi panggung pernyataan sikap yang kaku dan saling menolak. Gubernur pun akhirnya angkat tangan.

“Karena tidak ada kesepakatan, maka kami serahkan ke Mahkamah Konstitusi untuk diputuskan,” kata Rudi Mas’ud dalam pernyataan singkatnya.

Masalah Tapal Batas atau Masalah Politik?

Persoalan Kampung Sidrap sejatinya bukan lagi semata soal batas wilayah administratif. Banyak pihak, termasuk tokoh masyarakat, melihat bahwa konflik ini sarat kepentingan politik yang muncul setiap lima tahun sekali, menjelang Pilkada. Dalih pelayanan publik hanya menjadi pembungkus, sementara yang diperjuangkan adalah dominasi politik di wilayah strategis.

Ironisnya, masyarakat Kampung Sidrap justru menjadi korban dari tarik-ulur kepentingan elite. Mereka hidup dalam ketidakpastian status, terpecah secara administratif, dan tercekat oleh ketegangan dua pemerintahan.

“Warga Kampung Sidrap sudah cukup lama jadi korban tarik-menarik kekuasaan. Mereka tak butuh perdebatan politik. Yang mereka butuhkan adalah kepastian pelayanan, identitas yang jelas, dan kehadiran negara,” ujar seorang tokoh masyarakat yang hadir dalam mediasi.

Harapan Terakhir di Mahkamah Konstitusi

Karena mediasi telah berakhir tanpa hasil, kini nasib Kampung Sidrap akan ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi. Sengketa ini memasuki ranah konstitusional, dengan harapan lahirnya keputusan hukum yang tegas, adil, dan mengikat bagi semua pihak.

Publik berharap MK tidak hanya menyelesaikan soal batas wilayah, tetapi juga menyudahi konflik kepentingan berkepanjangan yang telah memecah kehidupan sosial masyarakat Sidrap.

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup