FT Sesali Perbuatannya Pukul Istri, Kejari Kutim Beri Kesempatan Kedua melalui Restorative Justice
SANGATTA, ETENSI.COM – Pertengkaran soal anak yang hendak berangkat sekolah di pagi hari berujung kekerasan fisik. FT (36) nekat memukul mulut istrinya, SIP hingga tiga kali dan mencekik lehernya setelah tersulut emosi mendengar ucapan sang istri yang membandingkannya dengan orangtua dan kakaknya.
Kejadian bermula pada Jumat, 22 Agustus 2025 sekitar pukul 06.45 WITA di rumah mereka di salah satu perumahan yang ada Kecamatan Sangatta Utara, Kabupaten Kutim Saat itu, Sorta berteriak menyuruh anak mereka untuk segera mandi dan berangkat sekolah.
“Namun dilarang oleh tersangka dikarenakan cuaca hujan. Kemudian terjadi pertengkaran,” kata Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejaksaan Negeri Kutai Timur, Bayu Fermady, saat konferensi pers di kantornya, Rabu (22/10/2025).
Dalam pertengkaran itu, korban SIP sempat melontarkan kata-kata yang menyulut emosi suaminya. “Kamu persis kayak orang tuamu, sama juga kayak kakakmu, kehidupannya nggak benar,” ujar korban saat itu.
Mendengar ucapan tersebut, FT langsung emosi. Dengan menggunakan tangan kiri, ia memukul mulut istrinya sebanyak tiga kali. Tak berhenti sampai di situ, FT juga mencekik leher korban SIP hingga korban memutuskan pergi meninggalkan tersangka.
Akibat perbuatan suaminya, SIP mengalami luka memar pada bibir dan anggota gerak atas. Perbuatan Frani diancam pidana dalam Pasal 44 Ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga ini tidak berujung ke pengadilan. Kejaksaan Negeri (Kejari) Kutim memutuskan menyelesaikan perkara ini melalui mekanisme Keadilan Restoratif (Restorative Justice (RJ).
“RJ atau keadilan restoratif di kejaksaan ini adalah penyelesaian perkara pidana melalui dialog dan mediasi antara pelaku, korban dan pihak terkait dengan tujuan utama memulihkan hubungan yang rusak dan mengembalikan keadaan seperti semula,” jelas Bayu yang didampingi jajaran Kejari Kutim.
Pelaksanaan RJ ini, lanjut Bayu, diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Keadilan Restoratif dan merupakan wujud menegakkan hukum yang lebih humanis.
Mekanisme RJ ini bukan proses persidangan formal. Mediasi dilakukan antara pelaku, korban keluarga dan pihak terkait lainnya dengan fasilitator jaksa yang ditunjuk melalui surat perintah berkode RJ-1 oleh Kepala Kejari Kutim.
“Yang menjadi jaksa fasilitator adalah Saudara Jaksa Eko Kosasih, SH,” imbuh Bayu.
Bayu memaparkan, perkara FT dapat diselesaikan melalui RJ setelah memenuhi enam syarat yang diatur dalam regulasi.
Pertama, tersangka bukan residivis. Kedua, ancaman pidana tidak lebih dari lima tahun. Ketiga, pihak tersangka dan korban telah melakukan perdamaian tanpa syarat pada Kamis, 9 Oktober 2025 bertempat di Rumah Restorative Justice di Desa Swarga Bara, Kabupaten Kutim.
“Keempat, tersangka dan korban sudah saling memaafkan. Lima, tersangka menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi. Enam, masyarakat merespon positif terkait upaya restorative justice,” paparnya.
Selain itu, tersangka juga mendapatkan sanksi sosial berupa kewajiban membersihkan gereja, tempat ibadah dari tersangka di lingkungan dekat domisili tersangka dan korban.
Setelah melalui tahapan ekspos internal dan koordinasi dengan Pidum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim serta mendapat persetujuan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, terbitlah Surat Ketetapan Penyelesaian Perkara Berdasarkan Keadilan Restoratif Nomor B-3973/0.4.20/Etl.2/10/2025 tertanggal 21 Oktober 2025.
Surat ketetapan itu ditandatangani Kepala Kejari Kutim, Reopan Saragih dan diserahkan kepada tersangka pada Rabu kemarin.
Dalam konferensi pers tersebut, pihak korban menyatakan komitmennya untuk memperhatikan kehidupan keluarga ke depan.
“Kalau dari kami untuk ke depannya kami akan lebih fokus lagi memperhatikan kehidupan Bapak ini dengan keluarga ini supaya ke depannya lebih baik lagi,” kata perwakilan pihak korban.
Sementara itu, FT selaku pelaku menyatakan penyesalannya dan berharap keluarganya bisa membangun hubungan yang lebih baik.
“Harapan saya buat keluarga ini supaya menjadi, kalau saya ingin bisa membangun lah. Saya ingin bisa apa namanya, satu tujuan. Supaya jangan ada terulang lagi,” ujar perwakilan korban.
Dalam surat pernyataan yang dibacakan FT bahwa dirinya menyesali perbuatan yang telah saya lakukan dan berjanji tidak akan mengulangi kembali perbuatan tindak pidana sebagaimana dimaksud di atas maupun tindak pidana lainnya.
FT juga menyatakan kesediaannya untuk dicabut dari penetapan penyelesaian perkara melalui RJ dan diproses lebih lanjut sesuai ketentuan hukum yang berlaku apabila di kemudian hari ia kembali melakukan tindak pidana dalam bentuk apapun.
Berdasarkan penetapan, barang bukti berupa satu helai baju lengan panjang berwarna krem bermotif bunga, satu helai celana karet panjang berwarna krem, dan satu helai jaket sweater berwarna biru navy dikembalikan kepada tersangka.
Sebagai informasi, surat ketetapan penyelesaian perkara ini dapat dicabut kembali apabila di kemudian hari terdapat alasan baru yang diperoleh penyidik atau penuntut umum, atau ada putusan pra peradilan yang telah mendapat putusan akhir dari Pengadilan Tinggi yang menyatakan penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif tidak sah.


