Warga Bukit Kayangan Hidup dalam Bayang-Bayang Tambang
Kutai Timur – Hanya sepelemparan batu dari gemerlapnya kantor pemerintahan Bukit Pelangi dan kawasan elite tambang batubara di Sangatta, kisah memilukan tersimpan rapi di Dusun 8 Bukit Kayangan, Desa Singa Gembara. Meski hanya tiga kilometer dari pusat kota, puluhan kepala keluarga hidup tanpa akses listrik dan air bersih yang layak.
“Tiang listrik sudah berdiri sejak delapan tahun lalu, tapi aliran listriknya tak kunjung datang,” ujar Hadi, Ketua RT 28, saat ditemui awak media di kediamannya yang berjarak sekitar 60 meter dari aktivitas tambang, Minggu (18/5/2025).
Hadi, yang telah tinggal di kawasan tersebut sejak 2003, menjelaskan bahwa kondisi lingkungan semakin memburuk dalam setahun terakhir seiring aktivitas tambang yang makin mendekat. “Bising kalau malam, debu kalau siang, dan air sungai yang dulu jadi sumber utama sekarang keruh terus seperti susu,” ungkapnya.
Kondisi lingkungan yang diduga tercemar tidak hanya mengganggu kenyamanan tetapi juga berdampak serius pada kesehatan dan ekonomi warga. Beberapa mengalami masalah kulit setelah mandi di sungai yang diduga tercemar.
“Selangkangan penuh gatal. Banyak yang ngalamin. Saya sendiri baru sembuh,” kata seorang warga sambil menunjukkan bekas luka di tubuhnya.
Hadi menduga bahwa pencemaran juga telah merusak tanaman dan mengganggu peternakan warga. Beberapa jenis tanaman warga diduga terdampak debu dari aktifitas tambang.
“Lombok dan tomat kami rusak karena debu. Peternakan juga susah karena sumber air tidak layak. Kalau cuma janji dan tiang listrik, kami sudah kenyang. Sekarang kami ingin bukti,” tegas Hadi.
Penderitaan warga tidak hanya sampai di situ. Yuli Mutiawati, seorang ibu rumah tangga, mengungkapkan bahwa ketidakpastian terkait status lahan membuat warga hidup dalam kecemasan. “Kalau memang kena tambang, kami minta diganti untung. Jangan digantung terus. Kadang dibilang kena, kadang enggak. Warga bingung,” keluhnya.
Yuli berharap pemerintah segera memfasilitasi pertemuan resmi antara warga, perusahaan tambang, dan instansi terkait untuk mencari solusi konkret. “Kami ini warga negara juga. Tinggal dekat pusat pemerintahan, tapi hidup seperti di pinggiran tak berpenghuni,” ungkapnya.
Menghadapi situasi yang kian tak menentu, sekitar 65 warga telah menunjuk Kantor Hukum Khoirul Arifin, S.H., M.H. & Rekan sebagai kuasa hukum mereka untuk memperjuangkan hak-hak dasar.
“Kami akan perjuangkan hak-hak warga, apakah berupa ganti rugi, relokasi, atau pemenuhan hak dasar. Kalau tidak direspons, kami siapkan gugatan class action,” tegas Khoirul Arifin.
Albert, salah satu advokat dari tim hukum tersebut, menekankan bahwa tuntutan warga bukan hal yang berlebihan. “Kalau memang mau ditambang, relokasi dengan harga pantas. Kalau tidak ditambang, penuhi hak dasar mereka. Ini wilayah padat, tapi dibiarkan seperti daerah terisolasi,” katanya.
Menurut Albert, aktivitas tambang dalam jarak sedekat itu seharusnya tidak diperbolehkan tanpa kajian risiko dan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang komprehensif. Tim hukum telah melayangkan laporan resmi kepada berbagai instansi termasuk Bupati Kutai Timur, DPRD, Ombudsman, hingga Komnas HAM.
Dengan perjuangan hukum yang kini ditempuh, warga Bukit Kayangan berharap kasus mereka mendapat perhatian serius dan tidak lagi terabaikan di tengah derasnya arus industri ekstraktif yang terus mengisi pundi-pundi daerah.
Wakil Ketua I DPRD Kutai Timur, Sayyid Anjas, mengonfirmasi bahwa proses pembebasan lahan di kawasan tersebut memang sudah mencapai sekitar 70 persen. “Itulah yang membuat PLN yang tadi 2 tahun sebelumnya sudah pasang tiang, tidak jadi diteruskan untuk aliran kabel dan powernya,” jelasnya. Senin (19/5/2025)
Anjas menambahkan bahwa sebagian besar warga sebenarnya bersedia direlokasi. “Masyarakat di sana ternyata mau saja dibebaskan. Cuma ada beberapa yang cocok harga, ada yang belum cocok harga,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Bupati Kutai Timur, Mahyunadi, mengakui situasi “ambigu” di Bukit Kayangan karena lokasinya yang berdampingan dengan area konsesi tambang. “Saya sudah WA kepada KPC tentang berita itu. Jadi KPC juga akan melihat. Tapi saya juga akan turun ke situ,” ujarnya.Senin (19/5/2025)
Mahyunadi bahkan menyarankan agar perusahaan tambang membebaskan seluruh lahan pemukiman warga. “Kalau enggak jauh-jauh dari tambang ya sudah dia bebaskan aja lah sudah semua, ambil aja semua itu. Supaya masyarakat yang tadi katanya enggak bisa tidur tuh… Sudah bayar-bayar aja lah semuanya,” tuturnya.
Plt Kadis LH Kutim Dewi dalam konfirmasinya mengenai dugaan pencemaran lingkungan di Bukit Kayangan mengaku belum mengetahui. Ia juga menyampaikan bahwa terkait masalah pertambangan kewenangannya di pusat.
Dirinya menganjurkan agar warga melakukan pelaporan ke DLH Kutim, sehingga DLH Kutim dapat turun untuk melakukan verifikasi lapangan dan overlay untuk mengetahui benar tidaknya dugaan yang timbul serta mengidentifikasi apakah lokasi warga tersebut masuk areal konsesi perusahaan.
“Harus ada pelaporan dulu, biar kami bisa masuk untuk melakukan verifikasi lapangan. Karena kami baru bisa masuk jika ada pengaduan dari masyarakat,” ungkapnya saat ditemui seusai kegiatan di Kantor Sekretariat Kabupaten Kutim. (Ty/Q)